" Yang namanya nikah itu, musti di tanggal baik. Hari weton dan tanggal lahir kedua pasangan harus pas...kalo ga, bisa kena sial.."
" Wanita yang mau nikah itu harus diberikan seperangkat emas.. Malu dong ya bok kalo cuman sebentuk cincin emas.. pokoknya harus ada seperangkat emas dari ujung rambut sampai ujung kaki untuk memulai hidup baru.."
" Pokoknya jeng, selain mapan, mantu aku musti ngasih semua perlengkapan rumah tangga harus ada. Lemari. Tempat tidur . Meja rias. Toilet sama bathubnya. Satu set. Lengkap sama rumah, mobil dan pesawat terbang."
Hingga akhirnya, karna ngeri , belum siap, belum mapan, apa kata orang kalo cuman seperangkat alat solat? apa kata orang kalo nikah cuman dirumah dan bukan di gedung? apa kata orang kalo antaran cuman 20 kotak? apa kata orang kalo calon belum ada rumah, pesawat terbang dan belum lulus kuliah?
In the end... pasangan ini batal nikah karna memikirkan "apa kata orang". Orang-orang yang bahkan ga membayari keperluan mereka ataupun menghidupi mereka.
Memang benar pernikahan adalah penyatuan dua keluarga. Dua hati dan dua adat istiadat. Emang bener. Nenek2 lagi salto juga tau kalo atas penyatuan dua keluarga ini banyak saran yang memang harus dipertimbangkan.
Tapi pernah ga sih masuk saran yang mengharuskan kita untuk mengikuti budaya pamer dan "memaksakan diri?". Yang membuat kita melakukan apapun. Everything. Anything supaya ga kalah gaul. Ga kalah mewah. Ga kalah rame dan ga kalah eksis dan yang pasti mahal biar membungkam "apa kata orang?"
Pernahkah kita terpikir? Saya pernah secara "unconditionally" terjebak dalam keadaan itu. Keadaan dimana, saat ayah saya baru meninggal karna serangan jantung juni 2015 kemarin, dan berwasiat supaya saya bisa nikah sebelum 2016, dan saya seperti "diarahkan" untuk habis2an mengadakan resepsi dari niat awal saya yang cuman akad, menyediakan apa-apa yang sebenarnya diluar batas kewajaran dan kemampuan calon suami saya?
Really? bener2 habis2an?
Saya bersyukur orang tua saya dan orang tua Ken bukan orang yang jaga gengsi. Kalimat2 rese itu justru datang dari luar. Dari orang2 yang bahkan ga ada bantu apapun. Cuman jago ngomong doang. Its funny rite?
Salah seorang keluarga (cowok,27th) cerita kalo dia tertekan atas permintaan keluarga calon istrinya yang mengharuskan dia membayar mahar yang sangat tinggi, belum termasuk dengan uang resepsi dan perlengkapan rumah tangga yang HARUS ada dan disediakan dia sebagai mempelai pria untuk mempersunting gadis pujaannya. *Bok, anak gadisnya mau dijual ya?
Seorang teman saya di Yoga Class, cerita dan syurhat kalo in her 36 my age,di usianya yang ke 36 tahun, dengan karirnya yang cemerlang, She's got her own car and her own home *walau masih kredit karna kerja kerasnya, dan SANGAT PEMILIH untuk lelaki yang menjadi bakal suaminya. Simple.
" Aku sih realistis ya dek. Aku udah mapan. Laki aku harus lebih mapan dari aku. Dalam segala hal. Dan yang pasti harus lebih tua atau kalo ga sebaya deh."
Mapan maksud mba say disini adalah : "kalo gue punya rumah type 45, calon laki gue harus punya rumah mansion tingkat 2 , kalo gue punya 1 mobil pribadi calon laki gue minimal juga harus punya mobil , masa calon laki gue dibawah gue?"
Dan akhirnya semua masuk akal. Inilah kenapa dia masih melajang.
Atau ga usah jauh2, salah seorang anak temen mama, bener2 harus kita ambil pelajaran dari dia. Dia adalah common couple dari keluarga menengah. Sama seperti kita. Yang musti nabung *demi jaga gengsi buat ngadain resepsi dan segala perintilinnya. Singkat cerita, nabung lah mereka berdua ini. CUkup. Ya cukup. Cukup untuk acara standar.
Untuk mengadakan acara itu. In the end, di akhir karna ada gini gitu di keluarga yang bilang : Harus ada widodareni, harus ada seragaman, harus lengkap tempat tidur , meja rias, lemari, harus ada ngunduh mantu, nikah musti di gedung, dekor musti full lengkap komplit, undangan 1000 orang dengan katering 2000 orang, harus ada prewed yang dibikin film sampe wedding clip yang makan uang jeti2?
"apa kata orang kalo kita ga bisa ngadain ini? pokoknya harus usaha gimana caranya biar bisa semua. terwujud. habis2an. "
You know what happen next? They spent all theyre savings !! ALL of theyre savings (seluruh tabungan mereka) + minjam kredit ke bank + minjem ke keluarga yang emg The Have supaya hal2 diatas BISA terwujud. Minjam sama keluarga sih enak bisa nanti2 gantinya ini. Gumam mereka.
So? Gawean akbar yang bisa dikatakan mewah dan habis2an itu lancar dan *mereka hidup bahagia selamanya?
well, belum tentu.
Selepas acara, keduanya *langsung gerus panadol . Lantaran diserang pusing dan kegundahan. Nanar menarik nafas panjang. Memandang ke langit2 kamar pengantin yang harusnya kita bisa happy dan free. Harusnya mereka bisa punya budget bulan madu kalau mereka pandai dan efisien mengelola uang ga kemakan gengsi, harusnya setelah nikah jangan sampai ada hutang. Jangan sampai ada acara gadai.
Semua yang mereka habiskan dibayar "hanya" dengan pujian orang-orang
"Gilak... Keren ya acaranya.."
Lalu tamu2 pulang. Keluarga pulang. Teman2 pulang.
Meninggalkan dua orang ini.. sendirian..
Pasangan suami istri yang lagi negak paramex karna mikirin kalo setelah acara ini, mereka punya tagihan bulanan di bank, mikir supaya ganti uang keluarga yang mereka pinjam, tabungan di rekening hanya sisa berapa ratus ribu. Lalu menghibur diri sendiri :
"toh sekali seumur hidup ini... gapapalah...." dengan mata nanar yang berkaca-kaca dan berpikir bahwa Tuhan tidak adil dan hidup ini kejam.
Pernahkah terpikir bahwa lomba gengsi kaya gini sedikitpun ga ada manfaatnya? bahwa setelah nikah sebenarnya justru saat itulah perjuangan kita baru saja dimulai? terutama soal financial planning? saat inilah kita jangan sampai kehilangan simpanan minimal buat hidup dua bulan kedepan ? *dan bebas hutang?
Memang benar, Nikah adalah perkara "sekali seumur hidup". It is okey kalo kita memang mampu. Pasangan kita ga kesiksa nyiapin semua mau kita. Ortu kita ga sampe berhutang sana sini. Its ALL oke kalo kita mampu. Bisa. Dan ADA dananya.
Its ALL okey,dear...
Yang jadi masalah adalah kalo kita memaksakan diri. Memaksakan diri biar ga kalah gengsi. Ga kalah keren. Dan memaksa calon pasangan buat spending all theyre have.
Mohon maaf sungkem saya buat semua pengunjung blog saya *yang isinya sampah dan curhat ga jelas ini, postingan ini bukan buat nyinyir, nyindir dan nyilet siapa2. Saya ga niat buat sok tau dan ngatur, Postingan ini hanya post dari seorang Eulis Maharani dan pikirannya. Pikiran saya secara rasional.
Orang biasa dengan kelas Middle Class , dan bukan punya calon seperti Ardi Bakri dan Nia Ramadhani yang bisa nikah pake EO dan ikut smua adat jawa lengkap.. lengkap dengan bulan madu ke jepang.. dengan rumah, mobil, beserta isinya.
Saya hanya Eulis maharani, seorang wanita yang dengan niat murni untuk melaksanakan akad nikah.. Dengan pria yang insha allah bertanggung jawab dan sayang sama saya.. Menyempurnakan separuh agamanya.. dengan ridho kedua orang tuanya
Saya hanya saya.. yang sama seperti kalian, berasal dari keluarga menengah yang nabung juga buat seluruh acaranya.. Yang wanti2 ke orang tua kami, boleh bantu. Semampunya saja. Jangan berhutang. Jangan sampai berhutang. Saya hanya mencoba realistis.
Yang realistis bahwa setelah ini kami harus punya budget bulan madu bahwa setelah acara nikah, saya dan Ken harus nge DP sewa apartment sederhana mini (homestay), bukan rumah kontrakan, di kota ngabang, buat kita tinggal berdua..
Yang berpikir realistis bahwa hidup ini bukan hanya tentang resepsi satu hari.
Perjalanan kita masih panjang, Dear....
Lalu kenapa harus memaksakan diri, demi apa kata orang?
"Sebaik-baik wanita adalah wanita yang paling ringan dan murah maharnya..."
Mahar yang ringan, simple, sesuai kemampuan dan tidak memberatkan, asal kita hidup bersama laki2 yang jelas visi dan misinya , laki2 yang bertanggung jawab everything will be fine.
Mahar yang ringan, dengan niat murni supaya sakinah mawaddah .. Buat membina rumah tangga ?
Mahar yang ringan dan murah, dan tidak memberatkan dan tidak berurusan dengan orang orang ribet yang tinggi gengsi tidak akan membuat kita jadi perempuan "murahan" kan?